Rumah Yang Dijaga Mama

Oleh: Ignasius Dicky Takndare

“Jika seorang pria kelas atas menyerang seorang perempuan merdeka sehingga dia kehilangan anaknya yang belum lahir (keguguran), pria itu harus membayar sepuluh syikal perak untuk kehilangan janin itu,”

… “dan jika wanita (yang diserang) itu meninggal, anak perempuan dari pelaku itu akan dihukum mati.”

Saya membayangkan seorang guru Sekolah Dasar di sebuah negeri yang dunia pendidikannya kacau balau menuliskan kalimat tersebut di papan tulis dan meminta murid-muridnya memetakan kata-kata kunci yang dapat mereka temukan. Mungkin kebanyakan dari murid-murid malang itu akan menulis, laki-laki, perempuan, keguguran, janin, anak perempuan, dan mati. Tapi memang demikianlah petikan dari salah satu poin dalam sebuah undang-undang kuno yang disebut sebagai salah satu undang-undang paling awal yang pernah dirumuskan dalam sejarah peradaban manusia. Dituliskan oleh seorang Raja Babilonia sekitar seribu tahun sebelum Musa menuliskan Kitab Kejadian yang oleh beberapa kalangan dalam sebuah anekdot yang tidak lucu dipakai untuk mempersalahkan perempuan sebagai biang kerok diusirnya manusia dari Eden. Perjalanan sejarah kita memang dipenuhi dengan kata ‘kita’ dan ‘mereka’, tak terkecuali bagi laki-laki dan perempuan, mulai dari undang-undang Hammurabi hingga kumpulan suami- suami penat di warung kopi yang sangat menikmati pembahasan tentang kelebihan dan kekurangan istri- istri mereka, atau istri kawan mereka. Rupanya pengkelasan gender ini merupakan warisan yang diturunkan dari generasi ke generasi dan saling mempengaruhi melampaui batas-batas sistem masyarakat, keyakinan, bahkan geografi. Kita dapat duduk dan memetakan berbagai jenis masyarakat di dunia dari masyarakat peramu yang terbagi dalam suku-suku kecil, hingga kerajaan atau imperium- imperium besar yang tidak pernah puas dengan wilayahnya sendiri, hampir semuanya memiliki pandangan yang kurang lebih sama terhadap perempuan, memandang mereka sebagai objek seksual atau semacam kebanggaan yang melengkapi kegemerlapan mahkota atau singgasananya, dan tak lupa sebagai mesin yang akan (baca: harus) menghadirkan penerusnya ke dunia.

Tapi kita bersyukur dalam sejarah kita memiliki sosok-sosok perempuan yang melawan. Lysistrata seorang perempuan Yunani yang hidup pada zaman perang Pelopponesia, berjuang mengusahakan perdamaian. Bagaimana anda membayangkan sosok Lysistrata? Tegak, berwibawa, pemberani, dan mungkin dengan tamparannya ia mampu membuat rahangmu tak mampu mengunyah makanan dengan baik selama tiga hari, mungkin saja. Tapi Lysistrata bukanlah sosok seperti Xena, Mulan, atau Wonder Woman. Ia memimpikan perdamaian, dan sebuah ruang yang aman bukan hanya bagi para perempuan, tapi untuk semua orang di negerinya itu. Lysistrata mengkampanyekan perempuan di seluruh negeri yang bertikai untuk berhenti ‘melayani’ pasangan mereka, sampai keputusan damai disepakati. Tapi saya meminta maaf teman-teman karena kendati mulia maksudnya, kendati hebat perjuangannya, narasi yang terbangun tetap adalah perihal seksualitas dan egoisme kaum laki-laki, dan terlebih saya meminta maaf karena Lysistrata nyatanya adalah seorang tokoh fiksi dalam naskah komedi Yunani kuno yang ditulis oleh seorang pria bernama Aristophanes.

Tapi kita tidak perlu meremehkan Lysistrata hanya karena dia adalah tokoh fiksi. Mimpinya tentang ruang aman bagi semua orang adalah sesuatu yang masih relevan hingga kini. Mimpi yang sama yang mendorong ribuan perempuan turun ke jalan di kota New York pada awal abad 19 untuk menuntut hak-hak terkait pekerjaan mereka. Kebutuhan ruang aman masih merupakan pekerjaan rumah bagi kita semua yang mengklaim telah memiliki peradaban yang lebih maju ini.

Perempuan Papua memiliki pergumulannya sendiri. Kelompok Kerja Dokumentasi Kekerasan dan Pelanggaran HAM 1963 –2009, dalam laporannya yang mereka beri tajuk “Stop Sudah!”, serta temuan UN Women dalam Joint Programme on Combating Violence Against Women and Girls in Papua Province, Indonesia mengatakan bahwa tingkat kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak di Papua adalah yang paling tinggi di Indonesia, yaitu 4,5 kali lebih tinggi dari rata-rata nasional. Kekerasan-kekerasan tersebut beranekaragam baik bentuk maupun pelakunya, mulai dari yang didukung oleh negara hingga terjadi dalam lingkungan masyarakat, bahkan dalam keluarga atau dalam tatanan budaya tempat mereka hidup. Kekerasan-kekerasan tersebut bukan hanya bersifat verbal namun juga non-verbal.

Tentunya kita tak akan membahas satu per satu temuan-temuan tersebut, tapi ada satu hal yang sangat mengganggu pikiran saya setelah melihat paparan data dan berbagai cerita yang bersumber dari para penyintas dan korban ini, perempuan Papua kehilangan ruang. Kendati perempuan Papua disini adalah entitas jamak, tapi merekapun sekaligus adalah individu-individu yang oleh Antonio Gramsci dipandang tidak mungkin melepaskan diri sepenuhnya dari konteks dan jalinan sosial yang membentuk dirinya. Namun bagaimana bila konteks atau jalinan itu tak pelak adalah sesuatu yang terus menerus menjadi ancaman atau memiliki potensi mendegradasikan individu-individu ini dalam tatanan sosial? Kita mungkin bisa membantu membentuk ruang bagi mereka. Ruang tempat mereka dapat tinggal dengan merasa aman dan nyaman secara fisik maupun psikis. Tapi ruang seperti apa yang dapat dibangun bagi mama- mama yang suaminya dibunuh, anak laki-lakinya dianiaya, anak perempuannya dilecehkan, tanah yang mereka olah diambil, kemungkinan akses mereka terhadap pemulihan sangat rendah, serta masih banyak lagi deretan ironi yang masih terus terjadi hingga saat ini.

Mungkin bagi seniman Fasmaqullah, ruang itu adalah sebuah bentuk konektivitas yang didasari atas sebuah rasa empati, atau ikut merasakan. “We Are Connected” bisa menjadi sebuah pesan yang ingin disampaikan dari luar Papua bagi perempuan-perempuan Papua bahwa mereka tidak sendiri, dan sang seniman melihat penderitaan mereka juga dalam dirinya kendati dalam bentuk dan kadar yang berbeda. Karya-karya yang menggambarkan citra perempuan dengan perbedaannya masing-masing ini dibentuk dari 4 panel yang berbeda dan disatukan dalam satu kesatuan karya. Dengan menempatkan karya ini dalam pameran yang didedikasikan untuk perempuan-perempuan Papua, Fasma mencoba meletakkan diskursus perempuan Papua itu dalam skala yang lebih luas untuk mengajak khalayak melihat masalah- masalah perempuan Papua itu sebagai masalah bersama.

Melihat citra karya “Tolong Sa” oleh seniman Dessy Baru, saya teringat akan “The Broken Column” – nya Frida Kahlo. Ada penggunaan idiom tubuh perempuan di sana yang sama-sama digambarkan mengalami ‘penindakan’ masing-masing. Tapi kedua karya ini memiliki perbedaan yang cukup signifikan. Frida menggunakan tubuhnya untuk menjelaskan penderitaan yang pribadinya alami sendiri, sehingga ruang yang ia bangun dalam karyanya menjadi sangat personal dan eksklusif. Sementara Dessy memilih membangun sebuah ruang kolektif dengan menggunakan sosok atau tubuh perempuan itu sebagai gambaran pulau atau tanah Papua yang mengalami eksploitasi. Hal ini mungkin saja dipengaruhi oleh pandangan masyarakat adatnya tentang tanah. Yang menarik adalah, jika kita mencoba memahami bagaimana perempuan-perempuan Papua melihat tanah mereka, kita akan sadar bahwa kelekatan mereka dengan tanah adalah sesuatu yang seperti dua sisi koin dalam satu kepingan. Tanah itu adalah mereka sendiri. Pandangan ini menarik ruang yang dibangun Dessy dalam karyanya bergeser dari ruang kolektif menjadi ruang yang sangat personal, dan menjadikan isi ungkapannya tidaklah berbeda dengan Frida.

Pergumulan mama-mama penjual pinang muncul dalam karya seniman Nadila Aibini. Ruang ekonomi mama-mama Papua merupakan salah satu ironi yang begitu pahit. Mama-mama itu bergelut bukan hanya dengan kebijakan-kebijakan institusional yang tidak berpihak pada mereka, tapi juga dengan dominasi para saudagar pendatang yang begitu agresif. Carut marut itu dirasa cukup terwakilkan dengan guratan- guratan garis sang seniman yang bukan hanya menghubungkan tiap objek yang ada dalam karya itu, tetapi juga menarik garis yang jelas namun acak tentang hubungan antara para pekerja kebun, pedagang pasar, pembeli, para eksekutif di kantor-kantor, hingga pada gunung-gunung emas yang menjadi awal dari semua masalah itu.

“The Last Hope” karya Blandina Yeimo mencoba memvisualkan ruang yang seakan-akan sengaja disekat. Dari pita merah pada tangan sang ibu kita dapat menyimpulkan bahwa ia adalah Orang Dengan HIV-AIDS (ODHA). Sementara itu dikejauhan adalah siluet sang suami sedang bersama dengan sosok perempuan lain. HIV-AIDS memang bukan masalah khusus untuk salah satu gender saja, tapi di Papua begitu banyak ditemukan kasus ibu-ibu rumah tangga yang terpapar virus tersebut lewat suami mereka yang lebih dulu mendapatkannya dari hasil ‘perjalanan malam’-nya. Kondisi masyarakat yang belum mampu menerima keberadaan para ODHA justru membangun sebuah ruang yang dipenuhi stigma dan menempatkan para ODHA itu ke dalamnya. Ini jenis ruang yang harus dibongkar. Karya Blandina bisa menjadi secarik surat cinta yang diselipkan bagi mereka melalui bagian bawah pintu ruang itu.

Kesan terkurung juga hadir dalam karya seniman Aquino Renwarin; “Kekang”. Dengan citra hitam putih yang muram ‘kekang’ betul-betul menggambarkan keterkurungan sosok perempuan misterius di dalam sebuah selimut. Aquino tidak berhenti di sana. Kendati dalam keadaan yang demikian, sosok itu masih menggenggam noken pada salah satu tangannya. Ini mengingatkan saya pada ungkapan salah seorang teman saya beberapa waktu lalu yang mengatakan, ‘selama kitong pu perempuan-perempuan masih anyam noken, kitong pu masa depan masih ada’. Harapan itu juga tampaknya ingin digambarkan seniman dengan menghadirkan tunas pohon sagu dan beberapa butir buah pinang di bagian sudut bawah. Sudut bawah? Apakah harapan perempuan Papua sedemikian itu, terpojok di sudut bawah? Simbol itu bagi saya pribadi menjadi sebuah tamparan yang sangat keras. Tidak bisakah kita mengangkat harapan itu pada suatu posisi yang lebih utama, yang terlihat dengan mudah atau terakses semua orang dari mana saja dan bukannya meletakkan dia di sudut bawah. Aquino menampar segala kesombongan kita atau mungkin empati kita yang tertahan pada tembok-tembok perbedaan ras, kultur, ideologi, nasionalisme, atau keyakinan, yang akhirnya seperti meletakkan harapan-harapan orang pada sebuah sudut yang hampir tidak terlihat bahkan mungkin oleh kita sendiri.

Harapan itu mungkin terlihat lebih cerah dalam pemilihan warna-warna sejuk seniman muda Irene Wagab. Irene pada awalnya berangkat dari kisah hidupnya sehari-hari sebagai seorang perempuan Fak- Fak. Ia mengeluhkan posisi mereka dalam tatanan adat bahkan keluarga yang ia sebut sebagai “tukang masak saja”. Absennya para perempuan pada skala tertentu dalam tatanan adat menjadi masalah tersendiri yang dihadapi perempuan Papua. Tapi bagi Irene hal itu bisa dilawan jika perempuan memiliki pendidikan yang baik. Itu sebabnya pada salah satu tangan sosok itu ia menempatkan idiom buku-buku.

Pendekatan yang cukup berbeda dilakukan oleh Diana Yembise, ia menggunakan idiom patung Korwar yang berasal dari budayanya sendiri untuk menggambarkan manusia. Diana ingin menggambarkan betapa minuman keras dan penggunaan zat-zat adiktif bukan hanya merusak manusia saja, tetapi juga merusak budaya Papua. Selain itu para perempuan adalah yang paling sering menjadi korban langsung atas penggunaan barang—barang ini yang notabene lebih sering berada di pihak laki-laki. Dahulunya Korwar digunakan untuk berkomunikasi dengan para pendahulu mereka yang telah berpindah ke alam lain. Tapi bagaimana jika Diana ternyata melihat anda seperti itu. Anda dirasanya betul-betul seperti berada di alam lain, dan dengan karyanya ia mengirimkan pesan kepada anda, seperti kode SOS ketika seseorang sedang dalam bahaya.

Masih banyak lagi karya-karya dalam pameran ini yang menarik untuk dibahas namun jika harus menyimpulkan bagi saya membangun ruang aman tidak mesti terperangkap dalam istilah ‘membangun’ itu sendiri. Perempuan (Papua) butuh pembebasan, dan pembebasan berarti keluar dari sebuah belenggu atau mungkin justru keluar dari ruang-ruang yang lama, dan itu bisa dilakukan bersama-sama. Saya sepakat dengan apa yang dipikirkan oleh Rosa Luxemburg, ‘gerakan massa yang memperjuangkan hak perempuan sejatinya harus merupakan kesadaran bersama dari kelas proletariat perempuan maupun laki-laki’. Para peserta pameran ini telah melakukan bagian mereka dan untuk itu saya pribadi menaruh hormat dan respek yang besar terhadap mereka. Kini suara-suara itu sampai pada anda, seperti bagian- bagian kecil dari bahan konstruksi yang dilemparkan pekerja yang satu kepada pekerja yang lain. Anda bisa ikut membangun ruang itu dengan cara anda sendiri, sebuah ruang teduh bukan saja bagi perempuan-perempuan Papua, tapi mungkin anak perempuan anda nanti.

Rumah yang dijaga mama, 2 Maret 2021

Ignasius Dicky Takndare