Cerita Kami
LATAR BELAKANG
(Tiga/Tri Komando Rakyat)
Perjanjian New York
(Act Of Free Choice)
1949
Konferensi Meja Bundar (KMB) yang diadakan di Den Haag, Belanda merupakan salah satu peristiwa penting yang mendasari permasalahan terkait proses integrasi Irian Barat (Papua) kedalam NKRI. Karena dalam KMB membahas perbedaan pandangan antara pihak Indonesia dan Belanda. KMB disamping menetapkan soal penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada Republik Indonesia Serikat (RIS), juga mengatur soal Irian Barat. Namun, fakta menunjukan bahwa KMB tidak bisa menjadi rujukan yang baik bagi penyelesaian soal Irian Barat. Sebagai tindak lanjut dari hasil KMB, dalam butir ke 6, pasal 2 perjanjian KMB 1949 menyatakan bahwa “Kedudukan Irian Barat akan dirundingkan antara kerajaan Belanda dan Republik Indonesia Serikat (RIS) setahun setelah perundingan”.
Maret 1950
Indonesia-Belanda kembali mengadakan perundingan menentukan status Irian Barat dalam “Konferensi Uni Indonesia-Belanda” Namun perundingan ini gagal mencapai kesepakatan terkait status Irian Barat. Sehingga dibulan Desember tahun 1950, Belanda dan Indonesia menyelenggarakan “Konferensi Khusus” di Hague-Belanda. Lagi-lagi, tidak mencapai kesepakatan. Pada waktu yang bersamaan, Belanda telah memantapkan status quo nya di Irian dan menyiapkan pembentukan Papua sebagai sebuah Negara, dan kemudian mendeklarasikan kemerdekaan Negara Papua pada tanggal 1 Desember 1961 di Hollandia (Jayapura) melalui KNP (Komite Nasional Papua) dengan nama Negara “West Papua”, lambang Negara “Burung Mambruk”, Bendera “ Bintang Kejora”, Lagu Kebangsaan “Hai Tanahku Papua” dan Semboyan “One People One Soul”.
19 Desember 1961 Trikora
(Tiga/Tri Komando Rakyat)
Pada 19 Desember 1961, tepat pukul 09.00 waktu Yogyakarta, Presiden Soekarno memberikan pidato yang membakar semangat rakyat Indonesia agar gagalkan pembentukan negara boneka Papua, kibarkan sang merah putih di Irian Barat, dan bersiaplah untuk mobilisasi umum. Mulai saat Itulah Tri Komando Rakyat (Trikora) menjadi ajang bagi terciptanya serangan-serangan militer terbatas dari Indonesia terhadap Belanda di Irian Barat sehingga mempercepat proses pencapaian Perjanjian New York antara Indonesia dan Belanda mengenai status Irian Barat.
15 Agustus 1962
Perjanjian New York
Sesuai dengan usulan Bunker, maka di markas besar PBB New York berhasil ditandatangani sebuah perjanjian antara pemerintah Indonesia dan pemerintah Belanda yang dikenal dengan “Perjanjian New York (New York Agreement)” yang langsung disaksikan oleh Sekretaris Jenderal PBB U Thant. Isi perjanjian ini menyatakan bahwa: Belanda akan menyerahkan kekuasaannya atas Irian Barat kepada Badan Pemerintahan (Peralihan) Sementara PBB yakni United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA); dan kemudian UNTEA akan menyerahkan kekuasaan atas Irian Barat kepada Indonesia; kemudian sebelum akhir tahun 1969 dengan berada dibawah pengawasan PBB, Indonesia akan melaksanakan suatu Act of Free Choice (PEPERA) penentuan nasib sendiri bagi orang Papua/Irian apakah mereka ingin bergabung dengan Indonesia atau berdiri sendiri sebagai sebuah Negara merdeka.
1969 Penyelenggaraan PEPERA
(Act Of Free Choice)
Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) atau Act of Free Choice dilaksanakan di Irian Barat dimulai dari Kab. Merauke pada tanggal 14 Juli, Kab. Jayawijaya, Kab. Paniai, Kab. Fakfak, Kab. Sorong, Kab. Manokwari dan berakhir di Kab. Jayapura pada tanggal 2 Agustus 1969. Pelaksanaan PEPERA dihadiri oleh utusan PBB Dr. Fernando Ortiz-Sanz (Duta Besar dari Bolivia untuk PBB) untuk menyelenggarakan tugas yang berkaitan dengan pelaksanaan PEPERA tahun 1969.
Hasil akhir dari PEPERA melalui Dewan Musyawarah PEPERA (DMP) yang berjumlah 1025 orang secara aklamasi menyatakan untuk bergabung dengan Indonesia. Namun hasil pelaksanaan Pepera tidak diterima oleh warga Papua pada saat itu hingga kini, karena pelaksanaan Pepera dilakukan secara tidak adil. Pemerintah Indonesia sengaja membentuk Dewan Musyawarah Pepera sebagai utusan/perwakilan dari orang Papua yang hanya berjumlah 1025 orang dari total penduduk Papua yang pada waktu Itu hampir berjumlah 815.906 jiwa. Indonesia sebagai pihak yang memiliki wewenang untuk melaksanakan referendum, dilaporkan telah menggunakan kekuatan militer untuk melakukan tekanan terhadap berbagai aksi politik di Papua sebelum dan pada saat Pepera dilangsungkan. Militer Indonesia melakukan penangkapan, pemenjaraan, pengancaman, dan pengasingan terhadap para pimpinan politik Papua dan secara jelas cacat hukum dalam menafsirkan perjanjian New York tahun 1962 (One Man, One Vote).
1963-2004
Pada tahun 1963-2004, Pemerintah Indonesia sudah melakukan Operasi Militer di Papua sebanyak 15 kali yang telah menyebabkan ribuan korban masyarakat sipil. Operasi-operasi tersebut antara lain: Operasi Wisnumurti I dan II (Mei 1963 hingga April 1964); Operasi Wisnumurti III dan IV, Operasi Giat, Operasi Tangkas dan Operasi Sadar (1964 hingga 1966); Operasi Baratayudha (Maret 1966); Operasi Sadar, Baratayudha dan Operasi Wibawa (25 Juni 1968); Operasi Pamungkas (1970 – 1974) ; Operasi Kikis, Operasi ini dilakukan (1977 hingga 1978); Operasi Sapu Bersih, Operasi ini dilakukan (1978 – 1982); Operasi Sate (1984); Operasi Galak I, (1985-1986) ; Operasi Galak II, (1986 – 1987); Operasi Kasuaru I dan II, (1987-1989); Operasi Rajawali I dan II (1989-1991); Operasi pengamnan daerah rawan (1998 – 1999); Operasi Pengendalian pengibaran bendera Bintang Kejora (1999-2002) ; Operasi Penyisiran di Wamena, (2002 – 2004)
2001
Sehubungan dengan tingginya tuntutan “Merdeka” yang semakin menggema oleh rakyat Papua pada saat itu, maka pada tahun 2001 pemerintah mengeluarkan suatu produk kebijakan untuk meredam tuntutan pemisahan diri, yaitu UU No 21 tahun 2001, tentang otonomi khusus bagi Papua. Namun produk UU ini tidak serta merta diterima begitu saja oleh kebanyakan masyarakat Papua, karena mereka menganggap bahwa otsus tidak lain merupakan fase kedua dari Pepera tahun 1969. Bahkan sejak dikeluarkannya UU otsus hingga saat ini, bagi mereka (orang papua) tidak membawa dampak perubahan yang signifikan kepada kesejahteraan orang Papua, bahkan ada kecenderungan pemikiran bahwa otsus hanya untuk mensejahterakan dan memperkaya segelintir pejabat Papua dan para pejabat Jakarta, otsus identik dengan uang banyak tanpa memiliki subtansi penyelesaian bagi masalah dan kesejahteraan orang Papua. Bahkan hingga saat ini, otsus tidak benar-benar diberlakukan di Papua. Buktinya kemiskinan hingga pelanggaran HAM masih terus terjadi di Papua hingga kini. Oleh sebab itu, maraknya penolakan revisi UU Otonomi Khusus dalam bentuk apapun terus terdengar di seluruh pelosok Papua.