Oleh : Nourish Griapon
SAHKAN RUU-PKS
HENTIKAN KRIMINALISASI TERHADAP BURUH PEREMPUAN
STOP VICTIM BLAMING
PEREMPUAN BUKAN KOMODITI
Slogan-slogan seperti di atas dan masih banyak lagi selalu diteriakan pada setiap kesempatan dalam aksi-aksi rakyat. Sampai saat ini jumlah kekerasan terhadap perempuan dan kelompok rentan kekerasan terus meningkat. Kekerasan terhadap perempuan dan kelompok rentan merupakan masalah serius dan harus segera ditangani, mengingat negara kita merupakan negara demokrasi yang dengan slogan-slogan kenegaraannya yang berupaya untuk terus hadir memberikan rasa aman terhadap rakyatnya. Apalagi setelah satu tahun mengalami masa pandemi Covid-19 sejak 2020 hingga saat ini banyak kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan.
Catatan Kekerasan Terhadap Perempuan 2020
Jumlah kekerasan terhadap perempuan mencapai 892 kasus sampai Mei 2020. Hampir sama dengan 63% dari total pengaduan sepanjang 2019 (Data Komnas Perempuan, 2020). Kasus kekerasan di area daring/online paling tinggi dibanding tahun 2019. Dimana fenomena ini sebenarnya menunjukan bahwa dalam masa pandemi Covid-19, perempuan dan kelompok rentan tidak sedang dalam keadaan baik-baik saja atau tidak dalam kondisi aman. Sebagian besar laporan yang masuk pada awal tahun 2020 yakni tepatnya bulan April merupakan laporan kekerasan dari dampak kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang diberlakukan di sejumlah daerah Indonesia. Angkanya mencapai 232 laporan dan menurut laporan angka ini naik sekitar 51 laporan dari bulan sebelumnya yakni 181 laporan dan pada bulai Mei yang mencapai angka 207 laporan kekerasan. Ranah kasus kekerasan paling banyak dilaporkan adalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)/ranah personal (RP). Persentasenya mencapai 69% dari total kasus sepanjang Januari-Mei 2020. Lalu, kasus kekerasan di ranah komunitas yang mencapai 30% dan kasus kekerasan dari ranah negara 1%.
Bentuk KDRT/RP yang paling banyak berupa kekerasan psikis, yakni 398 laporan yang paling banyak dengan 170 laporan terjadi pada rumah tangga yakni korbannya adalah perempuan berstatus isteri. Data hasil survei secara daring/online dari Komnas Perempuan periode April-Mei 2020 terhadap 2.285 orang laki-laki dan perempuan menyatakan, 10,3% responden mengaku hubungannya dengan pasangan semakin tegang sejak pandemi Covid-19 dan 12% adalah pasangan yang telah menikah. Data ini juga menyatakan bahwa berdasarkan tingkat perekonomian, pasangan yang berpenghasilan di bawah Rp 5 juta dua kali lebih banyak mengaku hubungannya semakin tegang dibandingkan yang berpenghasilan di atas Rp 5 juta. Sebuah hal yang mengindikasikan faktor perekonomian berkorelasi dengan tingkat keharmonisan rumah tangga selama Covid-19. Tentu saja ini juga dipengaruhi oleh tekanan ekonomi yang semakin tinggi dan jumlah pendapatan yang semakin menurun.
Kekerasan berikutnya terjadi dalam ranah komunitas, laporan kekerasan terhadap perempuan paling adalah kekerasan seksual dengan jjumlah lapora 193 laporan. Jenis kekerasan seksual terbanyak adalah ancaman penyebaran foto/video porno atau revenge porn dengan jumlah laporan sebanyak 81 laporan. Komnas Perempuan pun mencatat total kekerasan berbasis gender online (KBGO) sebanyak 354 kasus sepanjang Januari-Mei 2020 di semua ranah. Jumlah ini sudah naik lebih banyak dari total laporan pada tahun 2019 yakni, 281 kasus. Dari beberapa data di atas tentunya kita dapat menarik kesimpulan bahwa, di Indonesia negara yang dikatakan negara demokrasi ini tidak lagi ada ruang aman bagi perempuan dan kelompok rentan kekerasan..
Dengan kondisi Indonesia seperti ini secara nasional, sebenarnya tidak menutup kemungkinan kasus-kasus atau laporan-laporan yang meningkat di daerah-daerah di Indonesia. Terutama daerah-daerah konflik seperti di Papua, meskipun belum secara resmi dikeluarkan pernyataan atau keputusan kepala negara mengenai status Papua sebagai Daerah Operasi Militer. Pen-drop-an aparat atau militer ke Papua dalam jumlah banyak tentunya mempengaruhi ruang-ruang aman perempuan dan kelompok rentan kekerasan di Papua.
Kondisi Perempuan Papua
Pada kenyataannya, daerah konflik seperti Papua mengalami krisis ruang-ruang demokrasi sehingga ruang-ruang aman yang tercipta untuk setiap individu hidup dengan rasa aman dan nyaman sama sekali hampir tidak ada di setiap wilayah di Papua. Tentu saja perempuan dan kelompok rentan kekerasan yang berada di Papua memiliki pengalaman kekerasan yang tidak terlepas dari sejarah panjang konflik di Papua, sejak tahun 1963 hingga sekarang. Hampir 60 tahun Papua berada dalam kedaulatan Indonesia pengalaman-pengalaman kekerasan ini tidak berhenti. Kuatnya pendekatan keamanan teritorial di Papua yang diberlakukan hingga kini cenderung berdampak negatif terhadap penduduk sipil, termasuk perempuan Papua dan kelompok rentan lainnya.
Pada tahun 2010, duabelas (12) lembaga yang bekerja untuk HAM dan keadilan gender di Papua, dalam kerjasama dengan Komnas Perempuan dan International Center For Transtitional Justice (ICTJ) Jakarta, didukung oleh Majelis Rakyat Papua, telah melakukan pendokumentasian fakta kekerasan terhadap perempuan Papua Pendokumentasian dilakukan selama kurang lebih delapan belas (18) bulan di sepuluh 11 kabupaten propinsi Papua dan Papua Barat. Pendokumentasian melalui proses pencarian dan pengumpulan fakta untuk mendapatkan gambaran utuh dan menyeluruh realita kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan Papua, sekaligus mengidentifikasi kondisi pemenuhan HAM mereka. Tim dokumentasi berhasil mendokumenstasikan 261 kasus dan tim mengidentifikasi tiga tipologi kekerasan yaitu:
Tipologi pertama, Kekerasan yang Didukung dan Dilakukan oleh Negara.
Dalam tipologi ini ditemukan sebanyak 138 orang perempuan mengalami bentuk kekerasan seksual, yaitu: perkosaan, perbudakan seksual, penyiksaan seksual, pemaksaan aborsi, eksploitasi seksual dan terkait penggunaan alat kontrasepsi (KB) serta percobaan perkosaan. Perempuan korban juga mengalami kekerasan non seksual, yaitu: pembunuhan, percobaan pembunuhan/penembakan, penyiksaan, penahanan sewenang-wenang, pengungsian, perusakan dan perampasan harta benda. Dalam tipologi ini, sejumlah perempuan juga menjadi korban karena sebagai isteri, ibu dan anak dari laki-laki/suami/ayah yang menjadi sasaran kekerasan oleh negara.
Tipologi kedua, Kekerasan Dalam Keluarga.
Dalam tipologi ini, ditemukan sebanyak 98 orang perempuan mengalami bentuk kekerasan fisik, psikis dan seksual dalam bentuk: poligami/selingkuh, penganiayaan, penelantaran ekonomi, perkosaan dalam perkawinan, kekerasan psikis, pembatasan ruang gerak dan pemaksaan kawin. Dalam tipologi ini juga dicatat pula perempuan menderita HIV/AIDS karena tertular dari suami atau pasangannya.
Tipologi ketiga, Kekerasan Berlapis.
Dalam tipologi ini, kekerasan tertentu berdampak pada bentuk-bentuk kekerasan lainnya. Tim dokumentator menemukan setidaknya 14 orang perempuan menjadi korban kekerasan berlapis. Secara khusus pendokumentasian ini juga mencatat, kekerasan yang dilakukan oleh
negara sangatlah berdekatan dengan bentuk kekerasan di publik yang dilakukan oleh pelaku
non negara atau sering disebut Kekerasan dalam Masyarakat. Ditemukan 11 kasus kekerasan
terhadap perempuan, yang terjadi dalam konteks perang suku dan eksploitasi sumber daya alam. (STOP SUDAH, 2009-2010)
Kondisinya kasus-kasus kekerasan dengan tiga tipologi di atas tidak pernah terlepas dari kebijakan-kebijakan pemerintah. Negara dinilai telah lalai dalam melindungi warganya terutama perempuan dan kelompok rentan kekerasan yang selama ini menjadi korban dan terus menerus bertambah hingga saat ini.
Salah satu contoh kebijakan pemerintah yang tetap terus diberlakukan hingga saat ini terus dilakukan adalah pendekatan teritorial oleh negara, namun dengan selalu mengedepankan kekerasan. Tentu saja ini juga mendorong terjadinya bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan, termasuk kekerasan seksual selama operasi keamanan digelar. Contoh yang baru saja kita hadapi adalah pengungsi korban kemanusiaan dari konflik bersenjata yang terjadi beberapa wilayah di Papua yakni Nduga, Intan Jaya dan daerah-daerah lainnya. Sebagian besar korban adalah perempuan dan anak. Meseka harus melihat keluarganya mati di tangan aparat ataupun mati kelaparan karena harus hidup berminggu-minggu di hutan dalam keadaan dingin dan lapar, atau perempuan yang harus melahirkan ditengah hutan jauh dari akses kesehatan.
Meskipun bentuk kekerasan dengan pendekatan keamanan yang sedang dialami, perempuan Papua dan kelompok rentan lainnya tetap saja juga tidak terlepas dari kekerasan lainnya seperti diskriminasi dalam adat dan budaya yang akhirnya menjadi sebuah pembiaran dan dianggap bahwa kekerasan yang terjadi pada perempuan adalah hal yang wajar jika terjadi. Perempuan Papua rentan mengalami kasus-kasus kekerasan, penelantaran karena suami memilih hidup bersama atau mengawini perempuan lain, praktik kawin tukar dan pemakasaan penikahan untuk anak di bawah umur.
Belum lagi, perempuan Papua harus menghadapi kekerasan berbasis gender dalam konteks konflik sumber daya alam, konflik politik, dan perebutan kekuasaan dari tingkat lokal sampai nasional. Salah satu contoh adalah perampasan lahan, dalam kondisi ini perempuan paling menderita karena tempatnya untuk mengelolah makanan berhenti seketika dan tidak dapat lagi mengaksesnya. Kehilangan hak atas tanah adat, terusir dari tanah adat, tidak dapat mengakses kesempatan kerja baru karena para investor mempekerjakan tenaga dari luar Papua. Tentu saja ini juga berkaitan erat dengan dampak kerusakan ekologis. Belum lagi perempuan Papua harus menghadapi gelombang investasi setelah disahkannya Undang-Undang Cipta Kerja (OMNIBUSLAW). Papua akan kehilangan banyak wilayah adat, sehingga perempuanlah yang akan sangat menderita saat ini. Atau contoh lain dari diskriminasi ekonomi yang terjadi pada pasar-pasar tradisional untuk mengakses layanan sarana seperti tempat jualan. Hingga saat ini masih banyak perempuan yang berjualan di pinggiran jalan dan bertaruh nyawa. Belum lagi menghadapi aparat negara maupun sipil yang datang dengan “menertibkan” atas perintah penguasa.
Berbagai bentuk kekerasan terhadap perempuan juga terjadi di berbagai wilayah pertambangan, perkebunan kelapa sawit dan daerah industri. Contoh ini biasanya melekat pada buruh perempuan. Hak-hak buruh perempuan tidak pernah diperhatikan, perempuan hamil masih bekerja dengan upah dan jam kerja yang sama dengan buruh perempuan yang tidak sedang dalam kondisi hamil. Upah yang minim, hak-hak atas perlindungannya sama sekali yang tidak dipenuhi.
Dalam banyaknya persoalan yang dihadapi perempuan Papua dan kelompok rentan lainnya, negara tidak pernah hadir dalam menindaklanjuti semua kasus-kasus yang telah terjadi. Bahkan negara terkesan melakukan pembiaran dan diangggap gagal melindungi hak-hak dan kemanan warganya. Negara justru menjadi salah satu pelaku yang mengambil bagian dalam penderitaan orang Papua. Impunitas, sering terjadi dalam kasus-kasus kekerasan di Papua apalagi kasus-kasus yang melibatkan perempuan sebagai korbannya. Tidak adanya respon dan kemauan politik yang serius dari pihak Pemerintah untuk mengatasi konflik di Papua secara umum, atau masalah kekerasan terhadap perempuan dan terus menerus melanggengkan kekerasan terhadap perempuan. Kondisi ini pun menyebabkan meningkatkannya trauma dan ketidak-berdayaan berlapis sehingga menimbulkan siklus viktimisasi.
Perempuan Papua saat ini berada pada kondisi tekanan psiko-sosial yang menyebabkan perempuan korban makin kesulitan dalam segi keberdayaan ekonomi, akses pendidikan, akses kesehatan maupun akses advokasi ketika berhadapan dengan hukum. Termasuk melindungi dirinya dari persoalan sosial lainnya seperti penularan HIV/AIDS dan diskriminasi sosial, masalah poligami, MIRAS, narkoba dan perjudian yang hanya menambah penderitaan perempuan Papua yang kian panjang.
Kondisi ini sebenarnya mendesak untuk direspon oleh rakyat sendiri sehingga secara swadaya dan struktural, sudah mulai ada upaya-upaya untuk membantu menangani jumlah kasus-kasus kekerasan yang dialami oleh perempuan dan kelompok rentan di Papua.
Bagaimana Perempuan Papua menghadapi Situasi Kekerasan di Papua?
Berangkat dari situasi kondisi perempuan yang di tuliskan di atas, korban maupun perempuan Papua sedang berusaha untuk melakukan upaya-upaya penghentian siklus kekerasan ini. Beberapa laporan menyarankan agar terus mendesak pemerintah untuk menyelesaikan konflik-konflk di Papua serta harus cepat memberikan penanganan serius kepada korban-korban kekerasan baik secara medis maupun secara psikis. Negara tentunya harus hadir untuk memberikan rasa aman dan kepastin hukum bagi warganya. Menunjukkan kemauan politik, mengerahkan sumberdaya dan mengambil tindakan untuk: meninjau kembali kebijakan pendekatan teritrial di Papua, mencegah terjadinya kekerasan terhadap rakyat Papua khususnya perempuan dan kelompok rentan. Menghapuskan diskriminasi ekonomi maupun sosial dan budaya, menghapus stigma-stigna terhadap rakyat Papua khususnya perempuan dan kelompok rentan.
Dalam hal ini juga kelompok-kelompok seperti Majelis Rakyat Papua pun diharapkan mengambil peran aktif dalam perlindungan korban perempuan maupun kelompok rentan di Papua. Apalagi dalam kondisi seperti ini, perempuan mempunyai 10 Hak Dasar Hidup Perempuan Papua yang diatur oleh Undang-Undang Otonomi Khusus yang hingga saat ini tidak pernah ada realisasinya. Terutama perlindungan terhadap korban kekerasan terhadap perempuan. Termasuk dalam hal ini juga diupayakan agar kelompok agama, adat dan organisasi masyarakat sipil mengambil peran untuk membentuk ruang-rang aman. Agar perempuan terbebas dari diskriminasi yang dialami.
Upaya-upaya lainnya adalah membentuk “ruang aman” dari kekuatan perempuan itu sendiri. Ruang aman ini bukan hanya sekedar bangunan rumah yang kita sebut aman. Ruang aman ini berarti kita membentuk satu jejaring yang aman bagi korban kekerasan, perempuan dan kelompok rentan. Dalam ruang amanada jaringan solidaritas bagi korban kekerasan, perempuan dan kelompok rentan dari kalangan masyarakat, ada lembaga advokasi hukum, ada lembaga penanganan trauma, perlindungan hak-hak bahkan ada tim advokasi kebijakan. Ruang aman seperti inilah yang sedang diupayakan kawan-kawan tentu saja dengan perspektif gender dan korban yang jelas dan dengan kesadaran penuh.
Belum tentu juga ketika kita mendesak lembaga-lembaga seperti pemerintah, MRP dan organisasi masyarakat sipil serta kelompok agama ini bisa mewujudkan ruang aman bagi kita. Pandangan kita tentang kekerasan bisa saja berbeda sehingga penanganan korban kekerasan pun bisa jadi berbeda. Kebutuhan korban perempuan dan kelompok rentan kekerasan belum akan ruang aman ini belum tentu dipahami benar oleh lembaga-lembaga ini.
Cita-cita terbesar Perempuan
Situasi demokrasi mengalami kemunduran karena tidak ada ruang aman sehingga perempuan mengalami pembatasan-pembatasan dalam beraktivitas. Padahal negara menjamin hak setiap warga negaranya untuk beraktivitas dalam keadaan aman dan nyaman tanpa memandang gender seorang individu. Ini memunculkan cita-cita terbesar perempuan menuju pada pemebebasan perempuan, yakni terlepas dari segala jenis penindasan. Lahirnya sebuah tatanan masyarakat dimana perempuan tidak lagi dipandang sebagai masyarakat kelas dua, kelompok yang ketika mendapat perlakuan kekerasan merupakan hal yang wajar karena menjadi seorang perempuan maupun sebagai individu dari kelompok rentan kekerasan, terbentuknya ruang aman bagi semua individu.
Apa saja yang dapat kita lakukan?
Menuju cita-cita besar di atas tentunya kita membutuhkan kerja-kerja nyata, saat ini yang erlu kita lakukan adalah mulai memetakan kekuatan perempuan, pemetaan persoalan-persoalannya dan isu juga tentu saja. Pendidikan-pendidikan kritis juga perlu dilakukan, peningkatan kapasitas untuk jangka panjang dan pendek. Mulai membangun jaringan dengan tujuan untuk membentuk ruang aman. Mengampanyekan isu-isu perempuan dan penanganan kasus perempuan serta kampanye menghentikan kekerasan terhadap perempuan dan kelompok rentan.
Dalam ranah hukum, ada baiknya kita mendorong undang-undang yang melindungi hak-hak perempuan seperti RUU-PKS maupun kebijakan-kebijakan yang mendukung eksistensi perempuan dan kellompok rentan kekerasan sebagai individu yang bebas dan merdeka. Sehingga kita sebagai warga negara merasa aman dalam melakukan aktivitas tanpa takut adanya terjadi kekerasan terhadap kita.
Pameran ‘SA PU KISAH” dan Perjuangan Pembebasan Perempuan
Salah satu cara mewujudkan cita-cita besar perempuan adalah dengan aksi-aksi kampanye yang dilakukan oleh solidaritas. Tentunya ini tidak terlepas dari cara-cara merespon persoalan perempuan yang semakin hari semakin rumit dan susah menuju pada penyelesaiannya.
Tidak ada perjuangan pembebasan suatu bangsa tanpa pembebasan perempuan, sehingga seharusnya peroslan perempuan buka hanya peroslan perempuan, melainkan perjuangan bersama.
Kolektif Udeido dan AJAR telah melakukan hal luar biasa sebagai solidaritas dengan mengangkat isu perempuan dalam bidang seni. Tulisan ini juga mengambil bagian sebagai salah satu metode kampanye melalui pameran yang diadakan oleh Kolektif Udeido dan AJAR. Tulisan ini menggunakan salah satu karya Fasmaqullah dengan judul “We are connected” menggambarkan bahwa Ruang Aman adalah usaha dan upaya kita bersama untuk menghentikan kekerasan terhadap perempuan.
Akhir kata terima kasih sekali lagi untuk kesempatan berkarya bersama. Sekiranya impian dan cita-cita perempuan akan terwujud suatu saat nanti. HIDUP PEREMPUAN YANG MELAWAN! HIDUP PEREMPUAN PAPUA YANG MELAWAN!!