Oleh: Rut M Ohoiwutun
“Gunung nemangkawi itu saya, gunung Wanagong itu saya punya sum-sum, laut itu saya punya kaki, tanah di tengah ini tubuh saya. Kau sudah makan saya, mana bagian dari saya yang kau belum makan dan hancurkan? Kau sebagai pemerintah harus lihat, dan sadar bahwa kau sedang makan saya, coba kau hargai tanah dan tubuh saya!”
Mama Yosepha Alomang, Mei 2000
Dunia memperingati Hari Perempuan Internasional setiap tahun tepatnya 8 Maret 1975. Momentum ini berangkat dari seberang benua yang memiliki sejarah pergerakan yang berbeda dengan Papua. Namun kesempatan ini menjadi penting bagi solidaritas Perempuan di Papua untuk mengeskpresikan dirinya secara bebas sebagai “Manusia Merdeka”. Kendati ada perbedaan konteks sejarah penindasan, pergerakan, argumentasi yang berkembang pada tiap momentum solidaritas; yang penting adalah benang merah yang dimilki bersama yaitu semangat perlawanan atau tidak menerima begitu saja berbagai bentuk penindasan terhadap perempuan.
Melihat kontekstualiasai persoalan Perempuan Papua hari ini, tentu tidak terlpeas dari kekerasan domestik baik itu Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), isu kesetaraan gender, poligami, termasuk kekerasan seksual. Bahkan Perempuan Papua juga dihadapkan pada impunitas dan trauma akibat pelanggaran HAM berat, dimana kekerasan yang dialami Perempuan Papua itu berlapis; kekerasan domestik, cultural dan institusional, termasuk paling banyak diperbincangkan hari ini adalah dampak langsung maupun tidak langsung dari masifnya investasi di Papua bagi Perempuan Papua itu sendiri.
Seperti perampasan lahan, ekstraksi dan eksploitasi sumber daya alam melalui kebijakan-kebijakan dan produk undang-undang oleh negara (misalnya Omnibus law) yang secara jelas mendukung Trans National Corporation (TNC) seperti PT. Freeport Indonesia, PT. Korindo Group, PT. Rajawali Group dan beberapa perusahaan besar lainnya yang hadir di tanah Papua; telah menambah daftar panjang penderitaan rakyat, termasuk didalamnya adalah perempuan dan anak. Deforestasi lahan Papua tidak terbendung, krisis identitas, nilai budaya dan jati diri manusia Papua tidak terelakan. Perempuan semakin kehilangan akses terhadap tanah, hak pakai dan mengelolah tanah yang melekat pada perempuan diabaikan.
Dalam laporan yang dikeluarkan pada 2016 berujudul “SA ADA DISINI” oleh Papua Woman Working Group (PWWG) bersama dengan Asia Justice And Rights (AJAR). Memaparkan temuan yang dengan jelas menerangkan bahwa perempuan mengalami kekerasan berlapis, dimana saat ada pelanggaraan atas Hak Sipil Politik dalam hal ini penangkapan sewenang-wenang, pembungkaman ruang demokrasi, pembunuhan diluar hukum, kriminalisasi pasal makar, hingga dalam sebuah operasi militer. Misalnya Perempuan di daerah konflik seperti yang hari ini terjadi di Nduga dan Intan Jaya, operasi militer mengakibatkan perempuan kemudian tersingkirkan dengan hilangnya akses mereka terhadap tanah untuk berkebun memenuhi kebutuhan hidup keluarga, mereka harus membawaanak-anak mereka dan tinggal di kamp pengungsian atau numpang dirumah keluarga dan kerabat mereka. Kerugian material juga mereka alami berupa harta benda, rumah, kebun dan ternak-ternak mereka yang selama ini menjadi sumber mata penaharian mereka. Tidak ada keadilan bagi mereka, jangankan pemulihan; pemenuhan hak atas rasa aman bagi mereka oleh negara saja diabaikan.
Meski suara perempuan diabaikan perempuan selalu mampu bangkit dan melawan, perempuan adalah yang “merawat kehidupan”. Ada banyak diantara Perempuan korban pelanggaran HAM yang kemudian bangkit dari keterpurukan mereka, memilih melawan dibanding menunggu belaskasihan negara. Perempuan yang bergerak maju, melangkah dan melawan diskriminasi, stigma dan mencari cara untuk bertahan hidup disebut penyintas (Survivor). Salah satunya Mama Valentina Wanopka dari Boven Digoel, dengan lantang ia berkata:
“Mama saat ini sedang waspada, PT. MRJ terus bujuk rayu kami masyarakat. Mama tidak akan lepaskan tanah, mungkin memang perempuan tidak punya hak. Tapi mama berjuang ini untuk enam orang anak-anak mama. Mama tidak mau mati dalam keadaaan berdosa, karena membuat anak-anak tidak punya tanah lagi, tidak punya tempat mereka kembali.”
Ceritanya dalam Catatan Akhir Tahun 2020 oleh Yayasan Pusaka Bentala Rakyat “Tidak Surut Meski Pandemi”.
Laporan “Sa Ada Disini” dan “Tidak Surut Meski Pandemi” menyadarkan saya bahwa tidak hanya Hak Sipil Politik tetapi juga Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya termasuk Hak-Hak Masyarakat Pribumi di Papua sedang dikhianati oleh Negara. Papua berada di ambang kehancuran dan perempuan ditodong moncong senjata, setiap hari perempuan diperhadapkan pada jurang kematian. Maria Baru dalam karyanya “Tolong Sa” mewakili perasaan Perempuan Papua hari ini. Sebagai salah satu karya seni rupa dari 10 perempuan muda papua yang diundang eksklusif dalam pameran ini. Lukisannya mewakili situasi perempuan di Kabupaten Tambraw yang merasa terancam akibat militerisme dan investasi. Saya merasa lukisan “Tolong Sa” adalah “Emergency Call” yang harus segera direspon oleh semua pihak.
Saat perusahaan datang merebut tanah adat; militer menjadi kaki tangan penguasa; negara mengabaikan hak hidup dan hak dasar “Orang Asli Papua” maka bersamaan dengan itu perempuan seakan mati dan bangkit berulang kali untuk mencari keadilan bagi dirinya, anak-anak, suami, keluarga dan tanah airnya; bumi cenderawasih.
Jika tanah adalah “mama” yang melahirkan dan merawat kehidupan, tidakah seorang perempuan layak mendapatkan haknya untuk menjalani hidup tanpa stigma, ketidakadilan, dan bebas dari sistem yang merebut kemerdekannya sebagai manusia? Perempuan seharusnya punya hak untuk bersuara dan juga didengarkan. Perempuan menentukan masa depan anak-anaknya dengan memastikan mereka aman sejak berada didalam rahim sebagai janin, dan perempuan mengandung tanpa mengeluh apakah anaknya itu laki-laki atau perempuan, ia tidak membedakannya, ia merawat kehidupan itu dengan sangat baik hingga terlahir ke dunia. Ilustrasi yang tepat untuk menggambarkan kehidupan didalam rahim seorang perempuan dan kaitannya dengan menjaga dan merawat bumi sebagai rumah kita bersama dapat kalian temukan dalam lukisan “Sa pung kisah” oleh Tayuko Matsumura.
Tanah Papua adalah “mama” bagi orang Papua dan semua orang yang datang tinggal di Tanah Papua. Gunung-gunung nya adalah payudara dan sungai-sungainya adalah air susu, tanah yang ditumbuhi berbagai tumbuhan diatasnya adalah keperawanannya. Dari sana lahir kehidupan yang menghidupi jutaan mahkluk di bumi. Jika Papua adalah bagian dari Paru-paru dunia maka kita harus menjaga paru-paru kita tetap bersih, bukan? Manusia bergantung pada oksigen dari paru-paru bumi, yang dihasilkan oleh tumbuh-tumbuhan hijau; kita sangat bergantung pada alam, seperti seorang anak yang bergantung pada air susu ibunya. Hari ini saat kita menghancurkan hutan dan merusak bumi Papua dari dalam, kita telah bersenggama dan melahirkan malapetaka. Kehancuran bagi “Mama Tanah”; rupa perempuan dalam berbagai bentuk, telah merenggut harta Perempuan yang berharga yaitu “Tanah” Sebagai sumber kehidupan.
Perempuan adalah karya seni yang tak dapat diukur nilainya, begitupun laki-laki. Manusia dan seisi bumi adalah sebuah lukisan dimana kita hidup didalamnya. Itulah makna kehidupan sebagai suatu seni yang saya yakini atau dengan kata lain “Hidup adalah Seni”. Pengetahuan saya terbatas tentang seni, tetapi melalui Pameran “Sa Pu Kisah” saya dapat melihat cerita, dan merasakan kisah yang tidak dapat diungkapkan melalui kata-kata ataupun didengar oleh telinga.
Saya jadi teringat percapakan dengan Rode Wanimbo aktivis Perempuan dan Ketua dari Departemen Perempuan Gereja Injili di Indonesia (GIDI), katanya “saat kita menentang sistem dan kebijakan yang tidak berpihak pada kita perempuan, maka kita harus siap untuk dikritik, siap untuk ditolak, tidak disukai, siap di stigma bahwa kita adalah perempuan yang memberontak dan tidak tunduk kepada otoritas.” Kesadaran saya lalu timbul bahwa perjuangan perempuan adalah perjuangan yang panjang, dan kita tidak dapat melakukannya sendiri-sendiri untuk mengubah situasi perempuan hari ini.
Inisiatif untuk mengumpulkan karya-karya seni rupa bertajuk “Sa Pu Kisah: Buka Mata Buka Hati” dan mengundang seniman perempuan muda dari Tanah Papua dan bertemakan Perempuan adalah salah satu bentuk kesadaran, tetapi juga kerja penyadaran untuk mengakat harkat dan martbat perempuan Papua melalui seni. Menunjukan wajah perjuangan perempuan melalui karya Perempuan Papua. Karena seni adalah bahasa yang sangat universal, ia membentuk apa saja dan memberi rasa bagi satiap insan. Sehingga saya sangat yakin bahwa setiap lukisan yang hadir dalam pemeran ini akan mewakili banyak sekali kisah Perempuan Papua, baik yang ada di lembah-lembah, gunung-gunung, pesisir pantai, pulau-pulau, rawa-wara dan dataran rendah di Tanah Papua.
Banyak dari antar karya yang dipamerkan membuat saya lebih sadar, bahwa kita semua di kandung oleh “Mama Tanah” atau ibu bumi. “Kita tidak bisa hidup tanpa tanah dan hutan sebagai mama, tanah dan hutan adalah harta kami yang tidak ada taranya” tulis Matsumura dalam karyanya.
Bagi saya karya-karya seni rupa disini mewakili perasaan yang ingin saya ungkapkan namun tidak dapat saya lukiskan dengan kata-kata. Bahwa perempuan adalah perawat kehidupan mengimbangi “tanah mama” yang melahirkan jutaan kehidupan.
Kiranya perjuangan perempuan untuk penghapusan segala bentuk kekerasan dan diskrimiasi terhadap perempuan dapat kita raih dengan tumbuh bersama, bekerja bersama, saling membela dan mendukung sesama kaum perempuan tanpa memandang suku,ras, agama, gender, latar belakang sosial, ekonomi dan politik.
“Happy International Women’s Day”
Panjang Umur Perjuangan Perempuan Papua..!!
Rut M Ohoiwutun
Numbay, 01 Maret 2021